Senyuman yang Panjang

9 tahun yang lalu, seorang gadis kecil terbaring di sebuah kamar berukuran 4 x 6 meter. Di atas tubuhnya terbalut selimut tebal berwarna putih dengan motif bunga-bunga, selimut kesayangan yang selalu menemaninya. Waktu itu, berkali-kali selimut itu ia gunakan untuk mengusap-usap air matanya sendiri, sesekali sesenggukan sambil mengatakan ‘sakiit… ini sakit’. Perempuan paruh baya di sampingnya, tak kalah cepat mengusap-usap kepala gadis itu, seraya membisikkan doa-doa ditelinganya. Sesekali ia mengusap peluhnya, mencoba menguat-kuatkan gadis itu dengan menunjukkan kesabaran di hadapannya. Pukul 23.30, tak ada rasa sakit yang berkurang selain cengkraman yang lebih kuat pada selimut gadis itu sambil terus mencercacau kesakitan. Lalu entah angin apa yang kemudian membuatnya bisa tertidur sampai pagi hingga tak terdengar lagi suara sakit itu.

***

9 tahun sejak semua itu berlalu. Gadis itu menjelma seorang dewasa dengan senyum panjang yang selalu ditunjukkan.  Bertahun-tahun sejak kejadian itu, ia tetap berjalan selayaknya manusia lainnya: menghibur diri, membagi kisahnya, menyempurnakan hidupnya dengan menjadi kesempurnaan bagi sesamanya. Tapi ternyata, rasa sakit itu memang tidak pernah benar-benar hilang. Ternyata ada yang masih setia membersamainya. Sampai detik ini. Sakit itu masih sakit namun kehadirannya bukan untuk menyakiti, sepertinya. Bahkan di detik saat harapan-harapan untuk sembuh berulang kali muncul, sakit itu masih bisa menepuk pundak semoga di kuatkan.

Gadis itu masih sama berjuang melawan sakitnya, melawan rasa malas untuk berikhtiar. Semua sedang sama-sama berjuang mempertahankan siapa yang lebih kuat. Dengan begitu mungkin akan terlihat siapa yang lebih pantas dimenangkan. Berjuang, belakangan menjadi kata yang kembali terasa sangat sakral untuk sebuah kesembuhan. Ada yang perjuangannya sudah selesai tapi banyak juga yang masih diberikan kesempatan terus berjuang.

Ada orang-orang yang dicukupkan perjuangannya pada titik kematian. Ada orang-orang yang dicukupkan perjuangannya pada titik kesembuhan. Tidak ada yang bisa menolak keduanya, selain sebuah senyuman yang panjang. Entah itu untuk menyambut sang pencipta dengan penuh kebahagian atau menyambut kesempatan masih diberikan waktu berbagi kebaikan dengan sesama. Siapa bisa menolak dua kebahagiaan itu?

Barangkali benar kata sahabat saya, bahwa kesembuhan bukan terletak pada metode dan obatnya tapi pada ridhoNya. Jadi seberapa ingin gadis itu disambut harapannya oleh Allah? Dengan cara seperti apa ia inginkan? Waallahualam.

Bismillah saja, semoga ikhtiarnya untuk sembuh berbalas pahala dan ridhoNya. Berprasangka baik saja, semoga setiap tetes air mata dan perihnya rasa sakit cukup untuk menebus banyak dosa yang ada padanya. Bismillah… bismillah… Semoga hadiah terbaik selalu hadir di sisinya. Mari tersenyum saja, sambil terus mendzikirkan kebaikan dalam berbagai ikhtiar.

Now, Im really miss my mother…

Malang, 30 Agustus 2016

Leave a comment